Tampilkan postingan dengan label Jurnalisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jurnalisme. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 18 Mei 2019

Opini, "Robo Journalism"

    Tahun 2019 ini, menggiring saya untuk beropini terhadap suatu inovasi baru di dunia Media, atau terkhususnya di dunia jurnalisme. Adalah sebuah inovasi yanh disebut dengan Robo Journalism. Sebuah pengembangan dari rumus Algoritma yang menghasilkan teknologi mesin pembuat berita dan penerbit berita tanpa campur tangan manusia. Terobosan baru ini jelas saja menciptakan sebuah peluang dan tantangan bagi jurnalis manusia. Kemudian menimbulkan berbagai opini dan pertanyaan dari siapapun yang bergerak di bidang media atau tidak. Seperti pertanyaan berikut ini, yang akan saya jawab dengan opini saya pribadi.

Apakah dengan Adanya Jurnalis Robot Peran Manusia Sebagai Pewarta Berita Akan Tergantikan ?

Jawab: Tidak.

Mengapa Demikian, karena setelah saya mengumpulkan data dengan membaca beberapa referensi, saya mendapatkan hasil, bahwa jurnalis robot memiliki lebih banyak kekuranngan daripada kelebihan. Kekuranngan tersebut pun adalah hal-hal yang memang hampir tidak bisa diperbaiki, karena pada kenyataannya tidak bisa dilakukan oleh robot.
Sebuah produk jurnalistik tentu memiliki karakteristik dan syarat agar bisa disebut sebagai produk Jurnalistik. Sebuah berita atau produk Jurnalistik lain harus memiliki kualitas konten yang besok dalam artine memiliki standar. Soal transparansi, menggunakan robot memang solusi yang baik, karena robot sudah pasti menginput data sesuai yang database sesuai data yang diperolehnya, robot bersifat Kaku yang memungkinkannya untuk tidak terintervensi oleh pihak lain. Tetapi, kredibilitas dari informasi yang diperolehnya perlu juga dipertanyakan, karena robot tidak mampu untuk melakukan identifikasi informasi, apakah informasi tersebut sudah pernah dipublikasikan atau belum. Maka, kredibilitas dan etika konten jurnalis robot yang dihasilkan pun dipertanyakan. Selain itu, robot yang bersifat Kaku dan terprogram otomatis ini akan menghasilkan produk jurnalistik yang bersifat tanpa emosi, dan pada berita akan memiliki gaya bahasa yang hambar. Jurnalis robot juga tentu tidak mampu untuk melakukan klarifikasi atas informasi yang diperolehnya, ia juga tidak mampu untuk melakukan komunikasi dua arah dan menganggap perkataan narasumber. Itu jika dilihat dari sisi produk yang dihasilkan. Tapi, selain alasan tersebut, kekurangan lain produk Jurnalistik juga dilihat dari peran seorang jurnalis sebagai stakeholders dan Pilar Keempat suatu negara.
   Seorang jurnalistik memiliki kode Etik dan peran tertentu yang tidak bisa dilakukan oleh robot. Salah satunya adalah sebagai watchdog. Sebuah mesin Algoritma tentunya tidak memenuhi syarat untuk menjalankan fungsi watchdog, sebuah fungsi wartawan untuk mengawasi fungsi pemerintah dan masyarakat dengan demikian jurnalis robot tidak mampu untuk menjadi penjaga demokrasi dan jam asasi manusia.

Apakah dengan Presisi Robot akan memunculkan kesalahan berita?

Jawab: Iya.

Jika sebelumnya saya berbicara tentang kekurangan dari jurnalis robot, sekarang saya akan membicarakan kelebihan dari jurnalis robot. Walapun hanya seputar berita yang bersifat pasti, seperti bencana alam, cuaca, waktu sholat, hasil pertandingan dan keuangan. Jurnalis robot memiliki kelebihan memproduksi berita secara optimal, cepat dan biaya murah. Mereka mampu menginput, mengolah dan mempublikasikan berita tanpa bantuan manusia. Ini jelas bersifat Efisien untuk memaksimalkan kerja jurnalis manusia dibidang lain. Karena ini dilakukan oleh robot yang tersistem, maka kesalahan yang dihasilkan lebih sedikit jika dibandingkan oleh hasil kerja  produksi jurnalis manusia. Tapi, bukan berarti jurnalis robot tidak mungkin melakukan kesalahan. Sebagai contoh adalah kasus yang pernah dialami oleh LA Times, yang kala itu melaporkan terjadinya gempa berkekuatan 6,8 skala richter di California. Padahal kenyataanya, pendidik setempat tidak merasakan gempa pada saat itu. Ternyata, kesalahan ini terjadi karena ada staf USGS yang baru saja mempublikasikan data gempa yang terjadi pada tahun 1925. Kasus ini menjadi bukti, bahwa jurnalis robot memiliki kemungkinan melakukan kesalahan, karena sifatnya yang tidak mampu melakukan klarifikasi dan verifikasi dari berbagai shmber, seperti yang dilakukan oleh jurnalis manusia.

Sumber Pustaka:
Aristyani Kencana & Kenari Suryadi. 2019. Meninjau Automated Journalism: Tantangan dan Peluang di Industri Media di Indonesia. Jurnal Konvergensi Vol 1. No 1. Universitas Paramadina.

Sabtu, 06 April 2019

Kata Saya tentang "Dies Untidar".

    Seperti judulnya, saya akan bercerita pengalaman saya seorang mahasiswi yang menjadi bagian dalam proses dibalik terselenggaranya acara Dies Natalies 5 Untidar. Yaa, tentunya bagian saya tidak seberapa, karna memang itu bukan otoritas saya di kampus. Tapi, setidaknya saya ikut terlibat dalam mengikuti beberapa persiapan sebelum rangkaian dies natalies.

Yaa, sebelumnya, saya akan jelaskan
Posisi saya, sebagai mahasiswi yang menjadi anggota dari KSR PMI Unit Untidar dengan jabatan ketua divisi Pelayanan Kampus dan donor Darah. Membuat saya memiliki tanggung jawab untuk mengkoordinir teman-teman saya jika mendapat permintaan bantuan Satuan Tugas. Termasuk permintaan dari pihak birokrat universitas untuk menjadi panitia bagian p3k dalam serangkaian acara dies natalies.

Dengan posisi ini, membuat saya mengikuti rangkaian persiapan acara, seperti rapat bersama dosen-dosen dan staf selaku panitia. Seperti biasanya, dies natalies diselenggarakan dengan berbagai rangkaian acara, mulai dari jalan santai, Pentas seni, lomba futsal dll. Rangkaian acara tersebut dibuka dengan jalan sehat pada awal bln maret lalu. Dan di acara tersebut sesuai porsi saya, saya dan bbrapa teman anggota KSR lain menjadi p3k selama jalan santai. Ini pertama kalinya bagi saya turut andil menjadi panitia di acara dies untidar. Sebelumnya, menjadi peserta acara pun saya tidak tertarik dan bahkan tidak tahu karena sosialisasinya kurang dan terkesan mendadak. Dan terulang lagi untuk tahun ini. Dies untidar Kali ini, untuk acara pertama saja, menurut saya kurang persiapan. Dan terkesan serba dadakan. Koordinasi antar panitia juga kurang. Padahal jika dilihat dari segi dana, saya yakin jika Untidar tidak hanya mengeluarkan sedikit dana. Pengalaman persiapan dari acara jalan sehat kemarin, persiapan event sekelas hut seharusnya lebih matang, bukan hannya dieksekusi beberapa mgg sebelum hari-H. Jika memang dosen dan staf merasa kewalahan mempersiapkan event, kenapa tidak sekalian saja menyerahkan kepada Event Organizer. Agar acara tidak setengah setengah. Jika event nya bagus, pasti mahasiswa untidar juga akan tertarik dengan acara dies.

Kata Saya yang seorang muda sekaligus mahasiswa Untidar, Dies untidar, adalah acara ulang tahun universitas. Yang tujuannya ini sebenernya untuk siapa? Mahasiswa? Staf? Dosen? Sesepuh yayasan atau seluruh keluarga mahasiswa. Jika memang ditujukan untuk mayoritas atau dengan kata lain ditujukan untuk mahasiswa, kenapa tidak diadakan event konserr musik, color run, festival dll. Agar tepat sasaran, agar memang diminati oleh mahasiswa untidar. Tapi kenyataanya, Acara yang diselenggarakan dari tahun ketahun terkesan itu-itu saja, saya bisa bilang terlalu kuno untuk mahasiswa, Dan akhirnya tidak tepat sasaran. Sebut saja UNY universitas negeri Yogyakarta, salah satu  referensi kampus yang bisa dijadikan panutan untuk menyelenggarakan acara dies. Kampus tersebut mengadakan konser musik yang acaranya hanya diperuntukan untuk mahasiswa aktif UNY, dan gratis. Syaratnya diatur menggunakan ipk. Tingkatan mahasiswa VIP hingga plg belakang adalah berdasarkan ipk yang mereka peroleh. Luar biasa jika pihak rektorat mau mengadakan acara sejenis demikian. Mahasiswa akan merasa bangga dan tentunya bahagia.
Bagaimana? Ada masukan untuk opini saya?

Terimakasih.

Sabtu, 30 Maret 2019

Demokrasi dalam Jurnalisme online

Halo, Temann
Selamat akhir pekan

Berbicara Selamat akhir pekan. membuatku Sadar, jika sekarang sudah akhir Maret. Dan artinya, sebentar lagi masyarakat kita, masyarakat Indonesia, akan melaksanakan sebuah pesta demokrasi dipertengahan bulan April untuk memilih presiden dan wapres ataupun memilih anggota legislatif.
Gimana? Sudah siap membawa "bungkisan pesta" untuk dibawa ke gedung TPU ? Dan sudahkan kalian memilih "kelompok teman" untuk menemani kalian meramaikan pesta?.

  Menyinggung fenomena pesta demokrasi, membuatku teringat dengan sebuah istilah dalam dunia komunikasi  yang dalam  dekade ini nampak menjadi tren yang luar biasa geliatnya. Istilah tersebut adalah Jurnalisme warga dan Jurnalisme Partisipatif. Mungkin untuk kalian yang tidak mempelajari ilmu komunikasi, akan merasa asing dengan istilah-istilah tersebut. Istilah tersebut lebih akrab dalam kehidupan milenial dengan istilah, citizen journalism. Dua hal ini menjadi bagian dari Jurnalisme online. Yang tidak bisa dipungkiri, memang giatnya cukup diminati jika dibandingkan jenis Jurnalisme lain.

  Jurnalisme online sangat dekat dengan kehidupan masyarakat. Jurnalisme online menjadi salah satu perwujudan ruang publik di lingkungan masyarakat demokrasi. Jika, dulu masyarakat memiliki ruang publik hanya dalam lingkup televisi, media cetak atau radio. Yang tentu saja, tidak menyediakan tempat diskusi dengan respon yang langsung. Sehingga cukup membatasi gerak opini dari masyarakat. Dalam Jurnalisme online, masyarakat memiliki ruang publik yang luas, dan cukup bebas untuk diskusi. Karena kesediaan fitur respon langsung yang menjadi salah satu keunggulan dari Jurnalisme online.

   Adanya ruang yang luas bagi publik ini menciptakan jenis Jurnalisme yang sudah disinggung di paragraf sebelumnya, yang menjadi cabang dari Jurnalisme online.  Yaitu, jurnalism warga dan Jurnalisme Partisipatif. Salah satu bentuk jurnalisme warga atau Jurnalisme Partisipatif  adalah turut sertanya masyarakat dalam mengolah dan memproduksi produk jurnalisme, seperti; video youtube, instagram dll.

  Produk-produk inilah yang nantinya akan berhubungan dengan adanya pesta demokrasi dalam tahun politik ini, seperti contoh, sebagai sarana kampanye. Dalam Jurnalisme warga, akan muncul berbagai konten terkait dengan kampanye calon presiden. Entah itu pendukung atau bukan pendukung. Akan ada masyarakat yang dengan sukarela membuat postingan yang secara langsung atau tidak akan memperkuat ataupun melemahkan kredibilitas calon politik. Seperti, seseorang yang secara iseng memposting kesenangannya menaiki MRT yang baru saja dirilis. Disitu orang tersebut berujar, sejenis pujian-pujian dan rasa terimakasih kepada mereka (baca:pemerintah) yang telah merealisasikan adanya moda transportasi publik yang luar biasa ini. Dengan demikian secara tidak langsung pengalaman yang dialami orang tersebut, akan secara tidak langsung meningkatkan kredibilitas suatu pihak yang terlibat atas adanya MRT tersebut. Atau, menjadi sebuah topik untuk  memancing diskusi publik diruang publik yang tersedia dalam konten jurnalisme warga tersebut.

  Kemudian, apa perbedaan dengan jurnalisme Partisipatif? Perebedaannya terletak pada siapa yang menyampaikan dan membuat konten tersebut. Jika dalam Jurnalisme warga konten dibuat dan disampaikan secara langsung oleh masyarakat. Dalam Jurnalisme Partisipatif masyarakat hanya mengetahui dan mendapat sebuah peristiwa, tanpa membuatnya menjadi suatu konten. Sedangkan untuk penyampaiannya dibuat oleh pihak media. Bisa dianalogikan seperti ini, tuti melihat ikan beranak kemudian ikan tersebut ditangkap tuti untuk diberikan kepada penangkar ikan, agar bisa diolah dan dibiakkan. Kira-kira seperti itu pemahaman yang bisa akuz sampaikan tentang jurnalisme online. Semoga bermanfaat teman.

Silahkan baca the handbook of global online journalism. Untuk kelengkapan dan kedalaman materi.

Terimakasih.

Sabtu, 16 Maret 2019

Aku, Kertas dan Konvergensi Media.

  
Zaman dulu, kertas bersetia dengan aksara-aksara yang mencucur dari benak seseorang, bermetamor dengann alam; hujan, daun, gunung, bunga randu alam, air, jendela, embun, kayu bakar. Termasuk kau salah satunya. –Sapardi djoko damono 





Seperti ungkapan dari sastrawan legendaris eyang Sapardi diatas aku tidak akan berbicara tentang biografi sapardi, atau berbicara tentang karakteristik karya-karyanya yang naturalis dan realis, dan  kwmudian aku bandingkan dengan karya Rendra yang sarat akan protes sosial.

Tapi aku akan mengajak kau membicarakan tentang kertas. Ya, kutipan tersebut aku pilih karena menggambarkan bagaimana kertas menajdi seorang “teman” yang setia untuk syair yang lahir dari benak penyair masa itu. Tentu bukan hanya menjadi “teman” setia  bagi para penyair. Bahkan, bukan hanya penyair, tapi juga menjadi saksi bisu para cendekia, orator, ilmuwan, dan penemu untuk memprasastikan buah pikiran atau catatan perjalanan keilmuan mereka. Yang kelak membantu kehidupan masyarakat saat ini.

Seperti kertas yag membantu perjalanan keilmuan para pendahulu, kertas juga membantu kehidupan pribadiku. Dulu, sebelum aku mengenal mesin bernama Laptop yang dilengkapi perangkat lunak microsoft word, Excel, dst, Aku menulis menggunakan kertas, terlebih lagi, dulu aku bersekolah di sebuah sekolah swasta berbasis keagaamaan yang melarangku menggunakan dan membawa perangkat elektronik appapun selama masa pendidikan. Dulu, aku sangat suka menulis pengalaman harianku di sebuah buku catatan harianku, hingga aku memiliki beberapa jilid buku harian. Sebenarnya, alasanku menulis di buku harian bukan karena semata-mata karena aku tidak bisa menuliskannya dalam perangkat elektronik. Tetapi, aku merasakan sensasi berbeda ketika aku harus membaginya di sebuah buku, emosi yang aku rasakan lebih terluapkan dengan maksimal. Walaupun tulisanku jauh dari kata rapi apalagi bagus. Aku tetap menuliskannya, tanpa merasa malu karena hanya aku yang membacanya. Walaupun konvensional, menulis di ketas atau buku juga lebih menjamin dari hilangnya data karena rusaknya sistem.  Itu adalah pengalaman hidupku bersama kertas, tentu tidak hanya sampai pada lingkup menulis buku harian, lebih kompleks dari itu, kertas menemani pendidikan ku dari aku belajar menulis hingga saat ini aku menjadi mahasiswa.

  Tulisan ini, tentulah bukan hanya tentang kertas, dan pengalamanku bersamanya. Tapi lebih jauh dari itu, tulisan ini akan bercerita tentang "pembaharuan" kertas sebagai media yg menjadi teman di era modern ini.  Dalam bahasa yang lebih ilmiah, orang-orang yang lebih paham menyebutnya "Konvergensi Media" . Yang maknanya adalah peleburan media dari yang satu media berisi hanya satu konten atau satu fungsi, menjadi satu media dengan multiplatform yang artinya bisa digunakan untuk berbagai fungsi. Berbicara tentang keilmuan, kurang pantas jika tidak menggunakan pendapat ahli untuk membahasnya. Aku akan memakai pendapat Flaw, menurutnya konvergensi media memiliki 3 point penting yang terdiri dari computing & information technology, communication network, dan digital content. Dalam teori ini, ahli flow menjelaskan bahwa konvergensi media sangat berhubungan erat dengan perbuatanmu industrial, karena perubahan Teknologi sangat berpengaruh bagi perubahan industri. Perubahan yang dimaksud disini bisa berarti perubahan media informasi, Cara berkomunikasi, perubahan media cetak, dan perubahan media digital.

    Dalam kasusku, teori miliki Flow ini bisa dihubungkan dengan perubahan media digital dan Cara berkomunikasi. Jika dulu aku menggunakan buku harian yang hanya bisa. Untuk mencoretkan alat tulis. Saat ini aku berbagi kegiatan harianku melalui Smartphone yang didalamnya memiliki berbagai software media sosial yang dengan mudah bisa aku dapatkan di playstore secara gratis. melalui media sosial aku bisa berbagi banyakk hal. Mulai dari pengetahuan  hingga hal-hal "Chessy" yang mungkin tidak ada spesiak-spesialnya. Pengalaman yang aku Alami mungkin sama dengan orang-orang lain. K etika pada masanya kertas sangat berjasa menemaniku sastrawan, dan para ilmuwan dalam menyalurkan, mengabadikan, dan mengkomunikasikan buah pikiran hingga orang-orang modern mampu mengenal dan memannfaatan keilmuan mereka, tentu saat ini mereka menggunakan media digital untuk mengkomunikasikan buah pikiran mereka. Aku berikan salah satu contoh agar mudah dipahami, lagi-lagi dari eyang -sapardi, yang baru saja merilis buku barunya, "sepasang sepatu tua". Di  usianya yang senja Ini, eyang -sapardi bukan hanya menceritakan buku, tetapi juga aktif berbagi kegiatan dan karya-karyanya di media sosial Instagram. Bahkan, dalam akunnya tersebut ia menyebutkan, bahwa saat ini ia sedang mengerjakan sebuah proyek kawin silang (kolaborasi) antara kata-kata dan art photography. Ini menjadi salah satu contoh, bentuk dari konvergensi media. Yang dulunya, sajak hanyalah tulisan dan kata kata. Berubah menjadi sesuatu Katya yang lebih dinamis. Jadi beginilah cara kerja konvergensi media yang penerapannya mempengaruhiku dalam hal berkomunikasi.


Terimakasih.

Perlombaan Kebetulan dan Eksistensi Tuhan

Sore itu, aku menaiki motorku menuju markas Palang Merah Indonesia di kotaku, untuk memenuhi undangan suatu acara, karena statusku sebagai a...